Minggu, 20 Juni 2010

Sedikit cerita tentang khitan tadi…

Sebelum melakukan khitanan masal, anggota relawan maupun pengurus bsmi yang akan bermain di medan op pada hari H dibriefing langsung oleh sang guru besar bsmi surakarta. Ialah dr. sulis yg memberikan sedikit pencerahan hati kepada peserta didik bsmi yang masih imut2 ini…. (hehehe). Saat itu dibahas banyak hal, terspesifikkan membahas mengenai detil jalannya op sirkumsisi dan pembagian tugas saat hari H. Namun, alhamdulillah berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa (lebay), akhirnya tersampaikanlah salah satu problem dasar yang kini sedang melanda kehidupan bsmi. Diriku tak kan menceritakan problem tsb soalnya bukan fokus dari tulisan ini… hehe,, maap… mungkin next time aja kali ya…. Sebagai bahan perenungan dari kita sebagai anggota bsmi surakarta….

Briefing sudah selesai, alat dan bahan sudah siap dan ahirnya kita menuju ke hari H untuk melaksanakan khitanan itu. Semua berjalan lancar.. namun ada kejadian2 menarik yang mungkin perlu digarisbawahi, terutama dalam pengoperasian teknik… banyak dari kita (terutama yg berlaku sbg asisten 1, spesifiknya lagi… yg masih imut *smile*) kurang tanggap dengan modifikasi2 teknik yg dilakukan oleh operator2 senior bsmi. Memang sih, bsmi sudah memiliki protap khusus dan “pas”, tapi kemampuan kita sebagai tenaga medis didepan meja op khitan juga seharusnya nggak terbatas pada kekaukan protap itu…. Protap memang wajib untuk dilaksanakan… tapi kita juga harus tau, teknik2 dasar yg lain.

I’ll give u an example….ada satu (atau beberapa) operator yang melakukan dorsumsisi, luangsung dilanjutkan ke sirkumsisi, sementara sang asisten 1 sibuk nyiapin needle holder, jarum, dan benangnya… Padahal yg dibutuhkan oleh sang operator sebenarnya jalan untuk mempermudah tindakan sirkumsisinya dengan megangin klem2. Sementara asisten 1 sibuk sendiri, dokter operatornya sudah selesai motong preputiumnya…. *smile*

Terus penguasaan teknik bedah minor (yg sebenarnya sangat muinoor sekali) juga penting dimiliki oleh asisten 1, apalagi operator. Masalah hecting… okelah,untuk melakukan khitan.. cuma modal bisa simpel terputus aja sudah cukup.. tapi saat kita menyatukan mukosa, fasia, kulit diusahakan sing pas gitu lho…. Sayang ketika kita sudah njahit dengan begitu kerennya (ala asada sensei mungkin…), tapi pating plecetot gara2 saat ngambil mukosa-kulitnya nggak pas.. banyak kejadian kulit yg melipat, mukosa yg nggeser ke bawah, dsb.. memang, kalo yg kayak gini butuh jam terbang… baru kita bisa melakukan dg sempurna…. Namun dengan pengalaman tadi, q rasa semuanya sudah paham,, minimal pernah melakukan... itu sudah jadi modal yg besar utk proses pembelajaran selanjutnya (buat asisten 1 yg masih imut2…. mohon diperhatikan ya….)

Ada kejadian,, kebetulan pasienq… dan di meja op saya menjabat sebagai petugas eselon-1. Pasien dengan burung gedhe, anak SMP kelas 2, sudah kita beri lido:ph kain 2:1. Walaupun sudah dikasi campuran, teteb aja yg namanya bleeding masih ada dan terus ngocor.... nggak terima cuma 1-2 tempat…. Tapi di buanyak tempat…. Sudah di dab… dikira sudah berhenti, ternyata ketika mau dijahit,, keluar lagi…. Ada di tempat yg lain,, sudah di klem… dirasa sudah berhenti,, ketika diobservasi lagi,, masih keluar… bahkan ada perdarahan yg rasanya tepat di bawah jahitan… (gek piye jal?) teteb kita klem…dab, klem, dab, klem, dab, klem… sampe bosen…. Plus ada kejadian unik pada pasien itu….nah, jahitan di jam 6 “terlepas” dan ikut “tergunting” saat dilakukan eksisi akhir di prepitum frenulum… kontan, byorrr… dan luka terlihat begitu menganga di bagian bawah…. Ckckck… dabdabdab…. Langsung dijahit sampai 3 jahitan (atau lebih? Aq lupa…). Benar2 pengalaman yg langka… (fiuh…) matur nuwun yaAllah….

Ada satu hal sepele yg bisa dijadikan pelajaran dari acara khitanan tadi, yakni masang plester… super sepele, tapi buktinya tadi 30 menit observasi post op banyak pasien yg mengeluhkan plesternya ucul.. ckckck…. parah… kenapa aku katakan parah? Soalnya yang pertama dilihat dari keluarga pasien adalah “tampilan luarnya”, seberapa buagusnya hasil hecting kita, ketika kita nggak bisa pasang perban-plester,, apalagi morat-marit kesana kemari… tetap dipandang, hasilnya jelek… berbeda persepsi ketika hasil hecting kita seharusnya nggak begitu bagus, tapi saat masang perban-plester terlihat rapi… bagus gitu,, keluarga pasiennya bakal seneng sana hasil potong burung kita *smile*

Guru yg paling berharga adalah pengalaman… setinggi apapun sekolah kita, nggak bisa dibandingkan dengan tingginya pengalaman dalam mengajarkan kita.. Dengan pengalaman yang kita dapat tadi, semoga bisa menjadi feedback positif dalam pemahaman kita mengenai ilmu khitan kedenpannya…..

Good job teman… saya salut dengan semuanya,,, syukran atas ilmunya… syukran atas bantuannya…..Teteb Smangaadddd!!!!!!!! BRAVO BSMI ^^

(Nb: maap, nulisnya nggak konsen, kawan… masih dalam kondisi tepar…)